
Oleh: Adnan Iman Nurtjahjo Amir, S.M., C.EML.FKUB Kabupaten Sleman – Daerah Istimewa Yogyakarta
Saat ini, dunia tengah bergulat dengan krisis iklim yang tak lagi bisa diabaikan. Perubahan suhu global, bencana alam yang kian sering, pencemaran yang merajalela semua menjadi tanda bahwa hubungan manusia dan alam sedang tidak baik-baik saja. Namun di balik semua itu, tersimpan satu potensi besar yang kerap terabaikan dalam gerakan lingkungan yaitu agama.
Dalam hampir semua ajaran agama, terdapat pesan moral yang menggarisbawahi pentingnya menjaga ciptaan Tuhan. Islam, misalnya, menekankan konsep khalifah fil ardh atau pemimpin di bumi, yang artinya manusia memiliki amanah untuk memelihara dan tidak merusak bumi. Dalam tradisi Kristen, terdapat ajaran stewardship bahwa manusia adalah pengelola yang bertanggung jawab atas ciptaan Tuhan. Begitu pula dalam Hindu dan Buddha, keseimbangan alam merupakan bagian dari dharma dan jalan hidup yang suci.
Agama Membentuk Kesadaran Ekologis
Di tengah ancaman krisis iklim dan kerusakan lingkungan yang kian nyata, manusia dituntut tidak hanya mengandalkan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun juga memperkuat dimensi spiritual dalam menjaga alam. Agama, yang selama ini menjadi pedoman hidup, sejatinya memiliki peran penting dalam membentuk kesadaran ekologis. Nilai-nilai agama yang luhur sesungguhnya telah mengajarkan manusia untuk tidak serakah, mencintai makhluk hidup lain, serta menjaga harmoni dengan semesta.
Namun, realitasnya kini berbanding terbalik. Eksploitasi alam terus terjadi atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Sungai dicemari, hutan digunduli, dan udara dikotori, seolah-olah bumi hanya diciptakan untuk ditaklukkan tanpa batas. Di sinilah pentingnya menghidupkan kembali nilai-nilai keagamaan sebagai suluh atau pelita yang menuntun perilaku manusia agar tidak gelap mata oleh keserakahan dan kepentingan sesaat.
Gerakan keagamaan hijau mulai bermunculan dalam beberapa dekade terakhir sebagai respons atas krisis lingkungan. Masjid ramah lingkungan, gereja hijau, hingga komunitas lintas iman yang menanam pohon bersama adalah contoh konkret bagaimana agama bisa menjadi kekuatan sosial yang mendorong perubahan gaya hidup yang berkelanjutan. Tindakan-tindakan kecil seperti hemat energi, memilah sampah, hingga menghindari konsumsi berlebihan bisa menjadi wujud ibadah yang membumi.
Di berbagai daerah, para tokoh agama mulai menyisipkan pesan-pesan ekologis dalam khutbah, ceramah, maupun liturgi. Mereka menyadari bahwa umat cenderung lebih mudah tersentuh jika isu lingkungan disampaikan dalam bingkai nilai-nilai spiritual. Ini menjadi langkah penting untuk mengembalikan agama pada fungsinya sebagai cahaya penuntun hidup, termasuk dalam menghadapi tantangan ekologi global.
Pendidikan agama pun seharusnya mulai dirancang tidak hanya membahas ritual dan akidah semata, tetapi juga mengaitkannya dengan tanggung jawab sosial dan ekologis. Anak-anak perlu ditanamkan sejak dini bahwa membuang sampah sembarangan atau merusak tanaman bukan hanya kesalahan etis, tetapi juga pelanggaran terhadap perintah Tuhan. Agama harus mengakar, tidak hanya di tempat ibadah, tetapi juga di laku harian yang mencerminkan cinta pada bumi.
Manusia Bukan pemilik Bumi
Tak dapat dipungkiri, krisis lingkungan sesungguhnya adalah krisis moral dan spiritual. Ketika manusia merasa paling unggul dan berkuasa, maka ia lupa bahwa alam pun memiliki hak hidup. Di sinilah agama memainkan perannya untuk mengingatkan manusia bahwa ia bukan pemilik bumi, tetapi hanya menumpang hidup di atasnya. Semua yang ada di alam ini adalah titipan, yang kelak harus dipertanggungjawabkan. Setiap pohon yang ditebang, setiap sungai yang dicemari, dan setiap makhluk yang punah semua ada catatannya di hadapan Tuhan.
Agama juga bisa menjadi dasar moral dalam kebijakan publik. Pemimpin daerah yang agamis semestinya memegang prinsip rahmatan lil ‘alamin alias rahmat bagi semesta, bukan hanya manusia. Perizinan tambang, industri, dan pembangunan infrastruktur harus berlandaskan etika lingkungan yang kuat. Sebab, merusak alam sama artinya dengan mengkhianati amanah Tuhan.
Agama dan Alam Tidak Pernah Bertentangan
Agama dan alam sejatinya berasal dari sumber yang sama yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Ajaran agama mengandung nilai-nilai luhur yang menuntun manusia untuk hidup selaras dengan ciptaan Tuhan lainnya, termasuk alam semesta. Dalam berbagai kitab suci, alam bukan hanya latar tempat hidup manusia, tetapi juga tanda-tanda kebesaran Tuhan (ayat kauniyah) yang patut direnungkan. Oleh karena itu, memelihara alam adalah bagian dari ketaatan spiritual, bukan sesuatu yang terpisah dari ajaran agama. Alam sendiri berjalan menurut hukum-hukum Tuhan yang penuh keteraturan. Ketika manusia mengikuti nilai-nilai agama secara utuh seperti hidup sederhana, tidak rakus, berlaku adil, dan mencintai sesama makhluk maka otomatis ia juga akan menjaga harmoni dengan alam. Tidak ada ajaran agama yang membenarkan perusakan lingkungan atau eksploitasi tanpa batas. Justru, agama mengajarkan batas dan etika dalam memperlakukan sumber daya alam.
Pertentangan antara agama dan alam hanya terjadi ketika manusia salah menafsirkan atau mengabaikan nilai-nilai dasar agama itu sendiri. Ketika agama dijadikan formalitas belaka dan tidak membentuk perilaku ekologis, di situlah konflik muncul. Padahal jika dipahami dengan benar, agama dan alam saling menguatkan: agama memberikan makna, dan alam menjadi ladang pengabdian. Keduanya bersatu dalam menuntun manusia menuju kehidupan yang seimbang, damai, dan berkelanjutan.
Dengan menghidupkan kembali nilai-nilai spiritual dalam relasi manusia dan lingkungan, kita membuka harapan bagi bumi yang lebih lestari. Karena pada akhirnya, agama dan alam tidak pernah bertentangan. Keduanya sama-sama mengajarkan kebaikan, keseimbangan, dan kasih sayang bagi seluruh makhluk.
Agama Sebagai Suluh Menjaga Bumi
Menjadikan agama sebagai suluh dalam menjaga alam adalah panggilan zaman. Ini bukan sekadar gerakan moral, tetapi juga bentuk nyata dari ibadah dan kepatuhan terhadap Sang Pencipta. Sebab menjaga alam berarti menjaga kehidupan, menjaga masa depan, dan menjaga amanah yang telah dititipkan kepada umat manusia.
Pada akhirnya, menjadikan agama sebagai suluh menjaga bumi adalah ikhtiar suci. Iman tidak boleh berhenti di langit, ia harus menyentuh tanah. Karena bumi yang kita pijak hari ini bukanlah milik kita sepenuhnya, melainkan titipan bagi anak cucu. Dan menjaga titipan adalah bagian dari iman.
Kesadaran ini harus menjadi gerakan kolektif. Para pemuka agama, tokoh masyarakat, pendidik, hingga pemimpin daerah perlu bersinergi menjadikan nilai-nilai agama sebagai fondasi dalam merancang kebijakan publik yang berkelanjutan. Ritual keagamaan bisa diperkaya dengan kampanye cinta lingkungan. Perayaan hari besar agama bisa dibingkai dengan aksi bersih-bersih atau pembagian bibit pohon. Setiap ibadah menjadi momen refleksi dan penguatan komitmen untuk menjaga bumi.