Apakah Kita Penonton di Panggung Kematian Bumi?

Langit tak lagi biru seperti dulu. Awan-awan tampak lebih berat menanggung duka yang tidak pernah diucapkan oleh manusia. Ranting-ranting pohon yang dulu riang bergoyang kini seperti menggigil, entah oleh angin atau oleh rasa takut akan hilangnya rumah mereka. Bumi, yang sejak jutaan tahun menjadi ibu bagi seluruh kehidupan, kini memandang kita dengan tatapan sayu—memohon, bukan marah. Mengharap, bukan mengutuk. Namun, sampai kapan ia akan bertahan?

Sebuah video yang dibagikan oleh Asosiasi Peneliti Studi Kalimantan (APSK) di kanal YouTube dan Instagram menjadi percikan kecil di lautan informasi yang kadang terlalu ramai dan membingungkan. Tapi percikan itu bisa menjadi nyala, bila kita sudi memandangnya dengan hati terbuka. Diskusi itu adalah cermin: menampilkan wajah kita yang tak selalu bersih, memperlihatkan betapa rakus dan acuhnya manusia terhadap bumi tempatnya berpijak.

Bagi saya—seorang awam yang baru memijakkan kaki di dunia kesadaran ekologis—tayangan ini seperti embun di padang yang kering. Menyegarkan sekaligus menyadarkan. Bahwa mencintai bumi tidak cukup hanya dengan tahu, tetapi harus sampai tahap bertindak. Bahwa menjaga lingkungan bukan gaya hidup kekinian, tapi wujud keimanan dan tanggung jawab spiritual.

Apakah iman kita cukup dalam, jika kita tega membiarkan sungai penuh limbah?

Apakah sembahyang kita sampai ke langit, jika kita menutup mata terhadap hutan yang dibakar?

Dalam berbagai ajaran, menjaga alam bukan perkara teknis, tapi etis. Dalam Islam, manusia adalah khalifah—pemelihara bumi, bukan penguasa serakah. Dalam kearifan lokal Nusantara, bumi disebut sebagai “Ibu Pertiwi”—sosok yang harus dihormati, bukan dijarah. Dan dalam budaya Bali, ada prinsip “Tri Hita Karana”, tiga harmoni suci antara manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam.

Mengabaikan bumi berarti merusak harmoni ini. Maka tidak heran, kerusakan alam seringkali dibarengi krisis spiritual, krisis sosial, dan krisis jati diri.

Satu kutipan menggema kuat di tengah tayangan tersebut:

“Kita tidak mewarisi bumi dari nenek moyang kita, kita meminjamnya dari anak-anak kita.”

Pertanyaannya: apakah kita mendengar suara itu, atau sibuk dengan deru mesin dan bising ego kita sendiri?

Generasi kini dan yang akan datang harus memahami bahwa bumi tidak bisa diperbaiki dengan sekali demo atau satu kali aksi tanam pohon. Dibutuhkan kesadaran yang konsisten, seperti mata air yang tak pernah lelah mengalir. Kita harus mengingatkan mereka—anak-anak kita, murid-murid di sekolah, teman-teman kita sendiri—bahwa:

  • 1. Sampah yang dibuang sembarangan hari ini adalah racun yang akan mematangkan luka bumi esok hari.
  • 2. Air yang tercemar hari ini adalah air mata anak-anak di masa depan yang kehilangan sumber hidup.
  • 3. Udara yang kita kotori adalah nafas yang akan sesak ditanggung oleh generasi sesudah kita.

Pendidikan lingkungan bukan hanya soal teori dalam ruang kelas. Ia harus ditanamkan sejak kecil, melalui keteladanan, melalui kisah-kisah yang menyentuh. Kita butuh dongeng baru, bukan tentang pangeran dan naga, tapi tentang anak manusia yang menyelamatkan gunung, sungai, dan hutan. Kita butuh tokoh-tokoh yang diteladani bukan karena popularitas, tapi karena kepekaannya terhadap bumi.

Kita harus ajarkan bahwa bumi ini bukan milik siapa-siapa, tapi tanggung jawab semua. Tak ada kata “nanti” dalam menjaga lingkungan. Sebab setiap detik yang kita tunda, adalah satu pohon yang mungkin tumbang, satu spesies yang punah, satu air mata bumi yang jatuh ke tanah.

Dan ketika anak-anak kita bertanya nanti:

“Apa yang kalian lakukan saat dunia mulai rusak?”

Maka semoga kita bisa menjawab dengan jujur,

“Kami bangkit. Kami sadar. Kami bertindak.”

Bumi bukan hanya ruang fisik tempat kita berjalan. Ia adalah bagian dari jiwa kita. Jika kita merusaknya, kita merusak diri sendiri. Maka dari itu, hormatilah bumi sebagaimana kita menghormati ibu kandung kita. Peliharalah tanah ini sebagaimana kita menjaga tempat ibadah kita.

Bumi semesta bukan hanya perlu disayangi—ia perlu dilindungi, dihargai, dan dipeluk dengan sepenuh rasa. Bukan karena kita hebat, tapi karena kita sadar bahwa hidup kita hanya sejenak, dan bumi ini akan tetap ada setelah kita pergi.

Dan semoga, ketika saat itu tiba, bumi bisa tersenyum, bukan menangis.

Bionarasi Penulis :

Mariza, perempuan, ibu rumah tangga, 62 tahun. Selama pandemi Covid 19, Agustus 2020-2025 sudah mendaki 34 gunung hingga puncaknya. Gunung dengan ketinggian rata-rata di atas 3000 mdpl, di Sumatera, Selat Sunda, Borneo, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Eropa, New Zealand. Total 40 gunung (ada gunung yang sama via jalur berbeda). Mariza bukan pendaki gunung sejak muda, baru mulai mendaki gunung di usia menjelang 50 tahun. Melihat sampah yang dihasilkan pendaki gunung luar biasa banyaknya. Kerusakan alam telah terjadi di gunung-gunung nusantara.

Pendidikan: Sarjana Sastra Universitas Indonesia Prodi Sinologi (lulus 1987). Magister Manajemen Universitas Indonesia Jurusan Manajemen Internasional (lulus 1991). Memiliki beberapa sertifikasi bidang lainnya.

Leave a Comment