Belajar dari Jejak Perjuangan Heroes

Penulis : Hj. Mariza SS., M.M. (Lions Club Jakarta, Monas Heritage)

Alam semesta bukan sekadar gugusan bintang dan planet yang berputar dalam keteraturan. Ia adalah puisi agung yang ditulis oleh Sang Pencipta dalam bahasa angin, air, tanah, dan cahaya. Dan dalam puisi itulah, manusia diberi satu peran sakral: menjadi penjaga harmoni. Namun, di tengah hiruk-pikuk zaman, tak banyak yang benar-benar memahami peran itu. Di tengah derap industri dan ambisi, suara-suara bumi kerap terabaikan.

Lalu, dalam ruang virtual sebuah short course tentang manajemen lingkungan, saya bersua—melalui layar dan kata—dengan seorang perempuan luar biasa: Ibu Siti Maimunah. Seperti angin yang lembut tapi pasti mengubah musim, beliau hadir dengan cerita yang bukan sekadar informasi, melainkan perenungan dan kesadaran baru bagi saya, seorang awam dalam ilmu lingkungan.

Saya menyimak semua rekaman dan materi dengan saksama. Dari video profil, presentasi singkat, hingga situs resmi IUCN tempat beliau berkiprah dalam konservasi spesies terancam. Setiap penjelasan Ibu Siti bukan hanya berbicara tentang data dan kebijakan, tapi tentang jiwa. Tentang tanah yang dilukai, tentang sungai yang merintih, dan tentang spesies yang perlahan-lahan kehilangan rumahnya. Ia menyampaikan semua itu bukan dengan nada menggugat, melainkan dengan empati dan keteguhan.

Bagi saya, Ibu Siti adalah perwujudan dari filosofi bumi itu sendiri: sabar, kokoh, dan penuh kasih. Dalam perjalanannya, ia mengorbankan kenyamanan demi keberlanjutan. Ia meninggalkan pilihan hidup yang lebih ringan demi berjalan di jalur yang sunyi—jalur yang hanya sedikit orang berani tempuh, karena penuh birokrasi dan badai politik lingkungan.

Dari materi yang ia sampaikan, saya belajar bahwa menjaga bumi bukan hanya tugas akademisi, aktivis, atau pemerintah. Ia adalah tanggung jawab setiap manusia yang masih bernapas, yang masih berharap melihat pelangi setelah hujan. Dalam konteks itu, pengetahuan tentang manajemen lingkungan dan emisi karbon membuka cakrawala baru dalam benak saya.

Saya baru benar-benar memahami bahwa jejak karbon bukan hanya berasal dari pabrik besar atau kendaraan bermotor. Bahkan dalam kebiasaan kecil—seperti membuang sampah sembarangan, menyalakan listrik tanpa keperluan, atau tidak bijak dalam konsumsi—kita sedang menorehkan jejak yang tak kasatmata, tapi membebani bumi. Dan sistem manajemen emisi bukan sekadar soal teknis pengukuran, tapi tentang etika hidup.

Refleksi saya sederhana tapi mendalam: selama ini saya hidup dalam lingkaran konsumsi yang tidak disadari. Saya mengambil dari bumi tanpa berpikir bagaimana mengganti. Saya menikmati oksigen tanpa menyapa pepohonan. Saya berjalan di atas tanah tanpa bertanya, apakah tanah itu masih bisa menumbuhkan harapan? Pertemuan ini menyentil, lalu menggerakkan.

Ibu Siti menyampaikan bahwa perubahan besar dimulai dari keberanian kecil. Dan keberanian itu bisa hadir dalam bentuk sederhana—seperti mulai memilah sampah, menanam pohon, mengurangi plastik, hingga menyuarakan pentingnya keadilan ekologis. Bagi saya yang sebelumnya hanya penonton pasif, kini saya ingin mulai berjalan, meski pelan, menuju keterlibatan yang nyata.

Saya juga sangat terkesan dengan pendekatan Ibu Siti yang tidak hanya menyentuh dimensi ekologis, tapi juga sosial dan kultural. Bahwa ekologi bukan sekadar hitungan ilmiah, tetapi erat terikat dengan identitas, kebudayaan, bahkan spiritualitas suatu masyarakat. Ia mengingatkan kita bahwa menjaga hutan berarti menjaga bahasa, menjaga adat, menjaga ingatan kolektif yang tak tergantikan.

Filosofi ini menancap dalam benak saya: alam semesta ini bukan objek untuk ditaklukkan, melainkan subjek untuk diajak berdialog. Seperti guru yang tak pernah marah, bumi terus memberi meski terus dilukai. Tapi bumi juga punya batas sabar. Ketika bencana datang, itu bukan murka, melainkan isyarat bahwa keseimbangan telah miring terlalu jauh.

Dalam short course ini, saya merasa bukan hanya menerima ilmu, tapi menerima panggilan. Panggilan untuk tidak lagi tinggal diam. Karena seperti kata pepatah Indian kuno: “Kita tidak mewarisi bumi dari leluhur kita, kita meminjamnya dari anak cucu.” Dan ketika kita sadar bahwa kita hanya penumpang sementara dalam perahu bernama Bumi, maka kita akan menjaga layar dan dayungnya dengan lebih bijak.

Terima kasih Ibu Siti, atas ilmu dan inspirasinya. Terima kasih panitia dan fasilitator, atas ruang belajar yang membuka mata dan hati. Saya mungkin belum bisa banyak berbuat, tapi satu hal pasti: saya tak akan lagi memandang sepele daun yang gugur, tak akan lagi mengabaikan air yang mengalir. Karena kini saya tahu, dalam setiap unsur alam, ada kehidupan yang saling terkait, dan saya adalah bagian darinya.

Dari kisahmu, Ibu Siti, saya belajar satu hal: mencintai bumi adalah bentuk cinta tertinggi, karena ia mencakup semua makhluk—yang tampak dan tak tampak, yang dekat maupun jauh, yang hidup kini dan nanti.

Leave a Comment