Penulis : Hj. Mariza SS., M.M. (Lions Club Jakarta, Monas Heritage)
Di tengah riuh dunia yang makin ramai oleh ambisi dan kebisingan pembangunan, saya menemukan seberkas cahaya yang merayap perlahan ke dalam kesadaran saya—melalui rekaman sederhana, melalui suara yang tak digemakan oleh panggung besar, namun mengetuk hati dengan denting paling dalam. Cahaya itu bernama Pak Misman.
Seperti akar pohon yang diam-diam menembus batu demi mencari air kehidupan, demikianlah perjuangan beliau. Tak bersuara lantang, tapi mengguncang fondasi pemikiran saya tentang apa arti menjadi manusia sejati di tengah semesta yang terluka.
Saya, hanyalah peserta awam dalam hal ilmu lingkungan. Sebelumnya, mungkin saya mengira bahwa menjaga bumi hanyalah tugas para ahli, para pemangku kebijakan, atau barisan aktivis yang turun ke jalan dengan spanduk dan pekik perubahan. Namun setelah menyimak kisah Pak Misman, saya sadar: menjaga bumi bukanlah sekadar ilmu, tapi panggilan jiwa. Sebuah bentuk cinta paling murni, tanpa syarat dan tanpa pamrih.
Dari video dan dokumentasi yang saya saksikan, saya melihat bukan hanya seorang pria paruh baya berbaju sederhana. Saya melihat hutan yang menangis di matanya, sungai yang mengalir di urat nadinya, dan langit yang teduh bersemayam di suaranya. Beliau adalah satu dari sedikit manusia yang rela menukar kenyamanan hidupnya demi menjaga denyut kehidupan bumi yang mulai sekarat. Kalpataru yang beliau terima bukan sekadar penghargaan—itu adalah simbol pohon kehidupan yang tumbuh dari tetesan keringat dan air mata.
Pak Misman mengajarkan bahwa mencintai alam tak bisa dibatasi oleh gelar atau jabatan. Ia adalah soal keterhubungan, kesadaran bahwa tanah yang kita injak bukanlah milik kita semata, melainkan warisan bagi anak cucu dan bagian tak terpisahkan dari semesta. Beliau bukan hanya menjaga hutan dan air, tetapi juga menjaga harapan, menjaga keseimbangan, menjaga makna hidup.
Filsuf Yunani kuno, Herakleitos, pernah berkata bahwa alam semesta ini adalah satu kesatuan abadi yang terus berubah, namun dalam perubahan itu ada keharmonisan. Dan saya melihat harmoni itu ada dalam setiap langkah Pak Misman. Ia berjalan melawan arus zaman, saat banyak orang berlomba membangun gedung tinggi, ia memilih menanam pohon. Saat banyak orang membangun peradaban yang menggerus alam, ia membangun cinta yang sunyi dan gigih kepada bumi.
Saya tertegun ketika beliau menceritakan bagaimana ia kehilangan kesempatan pribadi demi menyelamatkan lingkungan. Betapa banyak hal yang beliau korbankan—waktu, harta, bahkan mungkin kasih sayang orang terdekat—demi sebuah perjuangan yang tak semua orang mengerti. Namun dari pengorbanan itulah, lahir jejak-jejak yang kini bisa kita ikuti. Ia adalah tapak kaki di tanah basah, yang menunjukkan bahwa jalan cinta kepada bumi memang tak selalu mudah, namun sangat layak untuk dilalui.
Sebagai peserta kelas ini, saya merasa seolah telah membuka jendela baru dalam cara saya memandang hidup. Alam bukanlah benda mati. Ia hidup, bernapas, merasa. Ia mendengar setiap langkah kita, merasakan setiap luka yang kita goreskan. Dan kini saya menyadari, setiap plastik yang saya buang sembarangan, setiap air yang saya sia-siakan, adalah bisikan duka bagi bumi yang telah begitu sabar memeluk kita.
Saya teringat pada pepatah suku Dayak yang pernah saya baca: “Hutan adalah ibu kami. Jika ia mati, kami pun akan mati.” Kalimat itu kini terasa begitu nyata. Di tengah gempuran perubahan iklim, banjir, polusi, dan bencana yang kian sering menyapa, kisah seperti perjuangan Pak Misman adalah kompas moral yang patut kita genggam erat. Di dunia yang kehilangan arah, beliau adalah penunjuk jalan.
Terima kasih kepada Yayasan Naula Hipatia Averrous dan Asosiasi Peneliti Studi Kalimantan yang telah menghadirkan sesi luar biasa ini. Kelas ini bukan hanya tempat berbagi ilmu, tapi juga ruang perenungan tentang tanggung jawab kita sebagai manusia. Kita bukan penguasa atas alam ini. Kita hanyalah bagian kecil dari harmoni agung yang diciptakan semesta.
Kini saya tahu, bahwa mencintai bumi bisa dimulai dari hal paling sederhana—dari menyimak kisah orang-orang yang telah lebih dulu menanam kebaikan, seperti Pak Misman. Dari membuka mata, hati, dan pikiran, lalu perlahan berani menapaki jejak yang sama: menjadi penjaga, bukan perusak. Menjadi pengasuh, bukan penjarah.
Semoga semakin banyak orang yang terinspirasi. Semoga kisah beliau tak hanya berhenti sebagai dokumentasi, tetapi tumbuh menjadi benih kesadaran baru di hati kita semua. Sebab bumi tak butuh banyak kata. Ia butuh aksi nyata. Dan saya, dari titik ini, berjanji akan memulainya—meski dari langkah kecil. Karena seperti kata filsuf Lao Tzu: “Perjalanan seribu mil dimulai dari satu langkah kecil.”
Dan langkah itu, hari ini, dimulai dari menyimak dan mengapresiasi perjuangan seorang lelaki sederhana yang hatinya lebih luas dari hutan mana pun di dunia ini: Pak Misman, sang penjaga bumi.