Penulis: Hj. Mariza SS., MM. (Lions Club Jakarta, Monas Heritage).
Dalam hidup yang penuh kepentingan dan keramaian modern, saya merasa seperti pohon di pinggir jalan kota—tumbuh, tapi tak sepenuhnya hidup. Namun pada tanggal 24 Mei 2025, dalam Short Course Batch 4 APSK, saya diingatkan kembali akan akar terdalam eksistensi manusia: relasi kita dengan alam, khususnya dengan hutan—paru-paru bumi dan penyeimbang kehidupan.
Melalui materi yang padat, filosofis, dan teknis, saya merasa tidak hanya sedang belajar, tapi sedang “diingatkan”. Disapa oleh kejujuran ilmu dan dikembalikan pada simpul-simpul kesadaran ekologis. Dan penyambung makna itu adalah sosok Bapak Januminro, seorang pejuang lingkungan hidup yang bukan hanya membawa gelar dan pengalaman, tetapi juga membawa jiwa besar dalam menyampaikan ilmu.
Bapak Januminro: Api Pengetahuan yang Menyala untuk Bumi
Beliau bukan sekadar pemateri. Dalam setiap kalimat yang disampaikan, saya menangkap denyut cinta akan hutan, bukan sebagai objek studi semata, tetapi sebagai sahabat kehidupan. Suaranya tenang namun membakar semangat, seperti embun pagi membisikkan harapan pada daun yang layu.
Bapak Januminro dikenal luas sebagai praktisi lingkungan hidup, khususnya atas dedikasinya dalam rehabilitasi lahan gambut yang terbakar dan pelatihan pencegahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Namun kontribusinya melampaui angka dan alat. Ia adalah pemilik sekaligus pengelola Jumpun Pambelom—sebuah hutan hak milik di Kalimantan Tengah yang dulunya adalah lahan gambut terbakar, lalu ia hidupkan kembali menjadi pusat konservasi dan relawan.
Melalui Jumpun Pambelom, beliau tak hanya menanam kembali pohon-pohon tahan api, tetapi juga menanamkan kesadaran kepada masyarakat. Di hutan yang ia rawat, ia menggerakkan program adopsi pohon, menjadikan pelestarian sebagai bagian dari kehidupan sosial, bukan hanya agenda para pakar. Ia merangkul warga untuk turut merasa memiliki hutan, menyentuh akar-akar perubahan dari bawah.
Tidak mengherankan jika pada tahun 2015, ia menerima Penghargaan Kalpataru, penghargaan tertinggi di bidang lingkungan hidup di Indonesia. Tapi bagi saya dan para peserta short course, penghargaan sejatinya adalah kehadirannya sendiri—utuh sebagai pelaku, pemikir, dan penggerak.
Teknologi, Kearifan, dan Komitmen
Saat memaparkan alat-alat penting seperti Kestrel 5500FW untuk membaca kondisi mikroklimat dan potensi kebakaran, serta perlengkapan pemadam punggung yang wajib dimiliki relawan di lapangan, beliau tidak hanya memberi instruksi. Ia menautkan antara teknis dan etika, antara logika dan cinta pada bumi. Ilmu yang ia bagikan bukan hanya berbasis pada teori, melainkan pada pengalaman nyata di tengah bara, asap, dan keringat perjuangan.
Ia menunjukkan bahwa pencegahan lebih utama daripada pemadaman, dan keterlibatan masyarakat lebih kokoh daripada intervensi sesaat. Baginya, pelatihan karhutla bukan sekadar aktivitas tahunan, melainkan proses berkelanjutan menanamkan disiplin ekologis.
Hutan Sebagai Cermin Diri
Bapak Januminro mengatakan dengan tegas: “Ketika hutan terbakar, bukan hanya pohon yang mati. Ada masa depan yang turut musnah.” Kalimat itu menghantam kesadaran saya. Betapa seringnya kita mengabaikan suara hutan, menganggapnya sebagai latar, bukan aktor utama dalam keberlanjutan hidup manusia.
Refleksi ini membuat saya merenung bahwa hutan adalah cermin jiwa kita. Ketika ia rusak, sesungguhnya kita sedang menyaksikan kerusakan batin manusia itu sendiri — serakah, abai, dan lupa akan batas. Tapi dalam tangan sosok seperti Bapak Januminro, saya melihat bagaimana ilmu bisa menjadi alat penyembuh, dan bagaimana kesadaran bisa menjadi kekuatan yang menyelamatkan dunia.
Ketika Ilmu Menyentuh Jiwa
Sebagai peserta, saya tidak hanya mendapatkan materi pelatihan, tapi mendapatkan pengalaman batin yang mengubah cara pandang saya terhadap lingkungan. Sosok beliau membuktikan bahwa seorang pelopor hutan gambut hak milik tidak hanya bekerja dengan cangkul dan bibit, tetapi juga dengan hati yang teguh dan visi yang jernih.
Saya kagum pada bagaimana ia menggabungkan pendekatan ilmiah dengan kearifan lokal, bagaimana ia menyusun sistem pengelolaan berbasis komunitas, dan bagaimana ia menciptakan model pelestarian hutan yang tidak menggantungkan diri pada proyek, tapi pada partisipasi.
Belajar Menjadi Api Menyala untuk Kehidupan
Dari short course ini, saya tidak hanya belajar bagaimana memadamkan api, tetapi juga bagaimana menjadi api yang menghidupkan: api pengetahuan, api kepedulian, api kesadaran. Sosok Bapak Januminro telah mengajarkan bahwa dalam menghadapi kebakaran hutan, kita tidak cukup dengan air—kita butuh jiwa yang menyala, hati yang ikhlas, dan ilmu yang berpihak pada kehidupan.
Terima kasih Bapak Januminro, atas ilmu, teladan, dan ketulusan Anda. Semoga semangat Jumpun Pambelom menjalar ke setiap relung bumi yang kering dan terluka, dan semoga kami bisa menjadi bagian dari pohon-pohon harapan yang Anda tanam.