ARSIP YANG TERLUPAKAN, TAK LEKANG OLEH WAKTU

Oleh: Nuraeni, S.Pd., M.Pd. (Guru SMA NEGERI 1 SUMBER ).

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Salam sejahtera bagi kita semua, Shalom, Om swastiastu,Namo buddhaya, Salam kebajikan,
Rahayu.

Setelah mengikuti kegiatan APSK pada hari Sabtu, 7 Juni 2025 dengan narasumber dari Pdt. Yoto, S.Th, MA, M.Pd.K dengan materi Kepemimpinan Ekoteologis, Interreligius dalam Pembangunan SDGs. Saya sangat senang bisa menambah ilmu dan pengetahuan yang baru melalui kegiatan webinar ini. Mengapa saya mengambil judul tersebut? Ada beberapa alasan pertama, menyesuaikan dengan tema pemateri. Kedua, konsep lingkungan yang berkelanjutan untuk masa depan memiliki warisan nilai-nilai yang sangat kaya, dimulai dari etika, moral, dan prinsip-prinsip universal yang sudah lama diajarkan dalam berbagai tradisi agama. Hal ini, kita sebagai manusia yang hidup di zaman sekarang bisa merasakan, membaca dan memahami untuk melindung alam semesta disekitar kita yang semakin hari semakin dikeruk oleh para manusia yang tidak memiliki hati terhadap alam semesta yang Tuhan kasih untuk bumi.

Isu-isu lingkungan bukan menjadi masalah baru. Sejak dahulu, manusia telah meninggalkan jejak hubungan sakral dengan alam dalam berbagai macam jenis baik melalui naskah kuno, tradisi lisan, ritual keagamaan maupun aturan adat. Tetapi, dokumen-dokumen tersebut terabaikan, terkubur dalam “arsip yang terlupakan” oleh arus modernisasi. Padahal, warisan ekoteologis dan kearifan lokal dari berbagai peradaban memiliki nilai luhur dalam menjaga keseimbangan ekologis. Artikel ini menelusuri rekaman-rekaman sejarah tentang kepedulian lingkungan lintas zaman dan lintas iman, yang ternyata menyimpan benih awal dari prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (SDGs) masa kini. Merekalah bukti bahwa meski terlupakan, jejak-jejak itu tak pernah lekang oleh waktu. Apabila ditelusuri dengan cermat, arsip-arsip itu menyimpan nilai-nilai luhur tentang tanggung jawab manusia sebagai penjaga bumi. Apa yang kini dikenal sebagai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) sejatinya telah hadir dalam bentuk-bentuk lokal yang kontekstual, dari larangan menebang pohon sembarangan di daerah adat, membuang sampah sembarangan, merusak laut dan gunung hingga penghormatan terhadap air dan tanah dalam tradisi keagamaan. Artikel ini bertujuan mengangkat kembali suara-suara sunyi dari masa lalu suara yang tidak lekang oleh waktu untuk menjadi inspirasi dan dasar moral dalam membangun masa depan yang berkelanjutan, adil, dan manusiawi. Sehingga menjadi permasalahan disini yaitu Bagaimana manusia akan bisa sadar terhadap lingkungan yang diberi oleh Allah SWT kalau manusianya saja bisa merusak perut bumi. Akan tetapi, bagaimana manusia bisa bekerja mencari nafkah jika tidak seperti itu?. Bagaimana manusia bisa membangun rumah permanen jika tidak dari perut bumi? Manusia yang memakai emas ini juga hasil dari perut bumi. Apakah mereka yang mengumpulkan emas juga tidak memiliki kesadaran terhadap lingkungan. Sebenarnya saling symbiosis mutualisme. Bukan membela merusak lingkungan bukan pula menyalahkan manusia yang memakai emas. Ini semua antara teori dan ilmu yang tidak diaplikasikan oleh mereka karena rendahnya pendidikan di Indonesia. Yang bekerja mencari emas, pasir, batu dan lain-lain mereka hanya lulusan SD dan SMP. Yang punya ilmu dan teori tentang ekoteologis apakah ada mengedukasi Teknik-tekniknya untuk mengeksplore kekayaan alam.

Bukan Sekadar Dokumen, Tapi Kesaksian

Dalam pandangan Kristen, arsip bukan hanya sekumpulan catatan atau dokumen lama, melainkan jejak kesetiaan Allah dan kesaksian umat-Nya di sepanjang sejarah. Alkitab itu sendiri adalah bentuk arsip ilahi—Firman Tuhan yang hidup, yang mencatat perjalanan manusia bersama Allah sejak penciptaan hingga pengharapan akan kehidupan kekal.

“Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.”
— 2 Timotius 3:16

Firman Tuhan adalah arsip yang tidak lekang oleh waktu, bukan karena dicetak dalam tinta dan kertas, tapi karena roh yang menghidupinya. Setiap kisah dalam Alkitab—dari penciptaan, kejatuhan, penebusan oleh Kristus, hingga pengharapan akhir—adalah bukti nyata bahwa Allah bekerja dalam sejarah.

Dalam era modern, isu lingkungan sering kali dibahas dalam bentuk laporan ilmiah, data statistik, atau dokumen kebijakan. Namun, bagi orang percaya, lingkungan bukan sekadar objek studi atau data teknis. Ia adalah ciptaan Allah yang menyuarakan kesaksian tentang kemuliaan-Nya. Dalam terang iman Kristen, lingkungan hidup bukan hanya persoalan ekologis, tapi juga dimensi spiritual dan moral—suatu panggilan untuk berpartisipasi dalam pemeliharaan ciptaan.

Lingkungan: Ciptaan yang Bersaksi tentang Penciptanya

Kitab Suci membuka dengan sebuah kesaksian agung: bahwa langit, bumi, laut, dan segala isinya adalah hasil karya tangan Tuhan. Alam semesta bukan hadir secara kebetulan, melainkan diciptakan dengan maksud dan tujuan yang dalam.

“Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya.”
— Mazmur 19:2

Ayat ini menegaskan bahwa alam adalah pewarta sunyi tentang keberadaan, kuasa, dan kebijaksanaan Allah. Setiap gunung, hutan, sungai, dan makhluk hidup menyimpan jejak Sang Pencipta. Mereka menjadi arsip hidup yang tidak hanya bisa dilihat, tetapi juga direnungkan.

Melupakan Arsip, Melupakan Jati Diri

Di zaman ini, banyak orang Kristen melupakan warisan rohani dan sejarah iman mereka. Mereka hidup dalam kekristenan yang dangkal, tidak berakar, dan cenderung kehilangan arah. Padahal, dengan memahami “arsip-arsip” iman—baik melalui pembacaan Alkitab, pengakuan iman para bapa gereja, maupun pengalaman spiritual para pendahulu—kita dibentuk untuk tetap setia, tangguh, dan bijak.

“Ingatlah akan pemimpin-pemimpin kamu, yang telah menyampaikan firman Allah kepadamu. Perhatikanlah akhir hidup mereka dan contohlah iman mereka.”
— Ibrani 13:7

Ayat ini mengingatkan kita agar tidak mencabut diri dari akar sejarah rohani, karena dari sanalah kita belajar berjalan dalam terang Tuhan.

Jejak yang Harus DihidupiSebagai orang percaya, kita dipanggil bukan hanya untuk membaca atau mengingat arsip iman, tapi menghidupinya. Arsip bukan untuk dikenang saja, tapi untuk ditindaklanjuti.

“Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri.”
— Yakobus 1:22

Ketika kita menjaga dan menghidupi warisan rohani baik dalam bentuk nilai-nilai Injil, kesaksian hidup, maupun pengajaran yang sehat kita sedang memperpanjang kehidupan dari “arsip” itu sendiri. Dalam tindakan kasih, keadilan, dan kesetiaan kepada Tuhan, kita menjadikan sejarah sebagai hidup yang nyata saat ini.

Kesimpulan: Menjadi Penjaga dan Pelaku Arsip Kekal

Di hadapan dunia yang terus berubah, orang Kristen dipanggil untuk menjadi penjaga dan pelaku dari arsip yang kekal. Bukan untuk nostalgia atau romantisasi masa lalu, tapi untuk membawa terang itu ke dalam dunia yang sedang kehilangan arah. Firman Tuhan, kesaksian iman, dan nilai-nilai Injil adalah arsip yang akan tetap berdiri, bahkan ketika langit dan bumi berlalu.

“Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan-Ku tidak akan berlalu.”
— Matius 24:35

Mari kita gali kembali, rawat, dan hidup dalam kebenaran yang tak lekang oleh waktu. Sebab di dalamnya, ada kekuatan untuk menghadapi hari ini dan pengharapan untuk hari esok.

Leave a Comment