TRI HITA KARANA, MENDORONG HIDUP DALAM KEHARMONISAN

Oleh: Trimanto B. Ngaderi, S.I.Kom (Yayasan Hidayatul Muchsinin Alfatih)

Akhir-akhir ini bencana alam sering sekali terjadi. Mulai dari banjir bandang, tanah longsor, kebakaran hutan, hama tikus yang menyerang tanaman padi, perubahan iklim, hingga meningkatnya pemanasan global. Alam seolah-olah begitu murka dengan nafsu serakah manusia. Bencana alam seakan memberikan “alarm” bahwa perilaku manusia telah jauh melampaui batas.

Betapa tidak. Manusia begitu rakus mengeksploitasi alam. Mulai dari penebangan pohon, penggundulan hutan, kegiatan pertambangan, perburuan satwa liar, alih fungsi lahan, dan sebagainya. Mereka tidak sekedar mengambil dari alam sesuai yang dibutuhkannya. Namun, mereka mengambil sebanyak mungkin demi memupuk pundi-pundi kekayaan.

Mereka tak peduli lagi terhadap dampak negatif akibat ulah keserakahan mereka. Mereka sengaja menutup mata atas kerusakan lingkungan, pencemaran air dan udara, musnahnya satwa langka, dan hancurnya tatanan ekosistem. Paham kapitalisme yang mereka usung hanya berorientasi kepada akumulasi modal. Mereka rela mengorbankan orang banyak demi kekayaan bagi segelintir orang.

Parahnya lagi, mereka memisahkan antara manusia, alam semesta, dan Tuhan.  

Tri Hita Karana

Setiap agama dan kepercayaan memiliki konsep yang mengatur hubungan antara manusia, alam semesta, dan Tuhan. Demikian halnya dengan agama Hindu, ada yang disebut dengan “Tri Hita Karana”, yaitu konsep hidup yang tangguh. Hidup yang tangguh (sejahtera) akan tercapai apabila terjadi hubungan yang harmonis antara Tuhan (pharayangan), manusia (pawongan), dan alam semesta (palemahan). Ini merupakan yadnya bagi setiap orang agar tercapai pelestarian dan keberlangsungan lingkungan.

Hal tersebut disampaikan Dr. Ni Nyoman Rahmawati, S.Ag., M.Si pada Sesi II Sekolah Lintas Iman (SLI) Certification in Interfaith Communication and Dialogue (C.ICD) – Kepemimpinan Ekoteologis Interreligius dalam Pembangunan SDGs yang diselenggarakan oleh Asosiasi Peneliti Studi Kalimantan (APSK).

Beliau juga menyampaikan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, umat Hindu mempraktikkan ritual-ritual yang bertujuan membangun keselarasan dengan alam, di antaranya:

  1. Kain Poleng, kain berwarna hitam-putih yang disematkan di pohon-pohon sebagai simbol magis, kekuatan, dan pelestarian alam;
  2. Tawur Kesanga dalam upacara Bhuta Yadnya, bertujuan untuk menyucikan alam semesta, menjaga keseimbangan alam, dan menciptakan harmoni antara manusia dan lingkungan;
  3. Tumpek Wariga adalah hari di mana umat Hindu memberikan penghormatan kepada Desa Sangkara sebagai Dewa Tumbuh-Tumbuhan;
  4. Subak, sistem kuno di Bali yang menyatukan harmoni antara alam, komunitas, dan spiritualitas;
  5. Tumpek Kandang, pemujaan kepada Dewa Rare Anggon agar para hewan diberkati dengan kesehatan dan keselamatan.

Demikian halnya dengan perayaan Hari Raya Nyepi. Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, Nyepi hadir sebagai momen istimewa untuk refleksi diri dan menjaga keseimbangan alam. Ia tidak hanya memiliki makna spiritual yang mendalam, tetapi juga memberikan pengaruh positif terhadap lingkungan hidup, yaitu pengurangan emisi gas rumah kaca, peningkatan kualitas udara, penghematan energi dan air, serta mendorong kesadarandan kepedulian terhadap lingkungan.

Ditambahkan pula bahwa dalam Suku Dayak Salako, terdapat ritual adat Ngabayotn. Bertujuan untuk menyampaikan rasa syukur, terutama atas hasil panen padi di kalangan masyarakat Dayak. Ada pula Mamapas Lewu yang dijalankan masyarakat Dayak pemeluk agama Kaharingan sebagai sarana membersihkan wilayah dari berbagai sengketa, marabahaya, sial, dan wabah penyakit.  Ada lagi Manyanggar, sebuah upacara adat suku Dayak di Kalimantan Tengah untuk membuka lahan baru.

Membangun Sebuah Kesadaran

Konsep Tri Hita Karana selain membentuk hidup yang tangguh (sejahtera), juga membangun sebuah kesadaran (awarness), baik kesadaran personal maupun kesadaran kolektif untuk senantiasa menyatu dengan alam dan Tuhan. Satu-kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan.

Kesadaran inilah yang akan menjadi ruh setiap pemeluk agama Hindu dalam menjalani kehidupan di jagad raya ini. Kesadaran akan mewujud dalam bentuk sikap dan perbuatan dalam memanfaatkan dan melestarikan lingkungan. Mereka dituntun untuk menempuh dharma (jalan kebenaran) untuk menuju jagathita (kesejahteraan, kemakmuran, kebahagiaan).  

Itulah intisari dari apa yang disebut sebagai Moksartam Jagathita Ya Ca Iti Dharma, yang merupakan tujuan tertinggi dalam agama Hindu. *) Peserta Sekolah Lintas Ima

Leave a Comment