Jejak Langkah Sang Patriot Hijau

Penulis : Hj. Mariza SS., M.M. (Lions Club Jakarta, Monas Heritage)

Di zaman ketika banyak anak muda berlari mengejar cahaya layar, terpikat gemerlap dunia digital dan kemewahan semu, ada satu sosok yang memilih jalan berbeda. Ia tak berdiri di atas panggung popularitas, tapi melangkah di antara rerimbun pepohonan dan jejak tanah yang sunyi. Ia adalah Brian—pemuda dengan jiwa seterang mentari pagi dan hati sedalam samudra yang mengemban satu misi agung: menyelamatkan bumi.

Saya menyimak kisahnya dalam video yang direkomendasikan, memperhatikan tiap detail dalam portofolio, serta menyelami energi dan ketulusan dalam setiap rekaman dokumentasi yang dibagikan. Dan sebagai peserta awam yang belum sepenuhnya memahami ilmu lingkungan, saya tidak hanya tercengang—saya tersentuh. Bukan oleh retorika, tetapi oleh keteladanan. Bukan oleh pencapaian semata, tetapi oleh pengorbanan yang nyata.

Brian bukan sekadar narasumber. Ia adalah mata air yang memancar di tengah gurun keacuhan. Di balik senyumnya yang sederhana, tersembunyi semangat yang meletup seperti gunung api kesadaran. Ia berjalan tidak hanya untuk dirinya sendiri, melainkan untuk pohon yang ditebang tanpa ampun, untuk sungai yang dikeruhkan oleh limbah, dan untuk udara yang kian berat oleh polusi. Setiap langkahnya adalah puisi tentang cinta kepada bumi.

Pemuda ini telah mengorbankan banyak hal yang oleh generasi seusianya dianggap sebagai simbol kebebasan dan kesenangan. Ia menukar waktu remaja yang riang dengan kerja lapangan yang melelahkan. Ia mengganti pesta malam dengan diskusi tentang pelestarian hayati. Ia membangun ekosistem, bukan ego. Dan semua itu ia lakukan tanpa mengeluh, karena bagi Brian, mencintai bumi bukanlah pilihan—itu adalah takdir yang ia peluk erat.

Saya teringat pada pandangan filsuf Stoik, Marcus Aurelius, yang pernah berkata bahwa hidup terbaik adalah hidup yang selaras dengan alam. Brian adalah contoh nyata dari pandangan itu. Ia tidak melawan arus demi pujian, tetapi karena jiwanya tahu: kehancuran lingkungan adalah kehancuran kemanusiaan. Bahwa bumi yang luka akan melahirkan generasi yang kehilangan arah.

Dalam video yang saya tonton, saya menyaksikan semangat yang tak dibuat-buat. Brian berbicara seperti akar bicara pada tanah—jujur, mendalam, dan menghidupi. Ia bukan sekadar membawa data dan presentasi; ia membawa pengalaman, keberanian, dan ketulusan. Ia tidak hanya berbicara tentang solusi, tetapi juga menjadi bagian dari solusi itu sendiri.

Sebagai peserta yang masih belajar, saya merasa tersiram hujan kesadaran. Brian mengingatkan saya bahwa bumi bukanlah sesuatu yang berada di luar diri kita. Ia adalah bagian dari napas kita, dari denyut nadi kita. Ketika kita melukai alam, sejatinya kita sedang melukai diri sendiri.

Tindakan-tindakan yang dilakukan Brian—mulai dari edukasi lingkungan, pelestarian kawasan konservasi, hingga inisiatif berbasis masyarakat—adalah bentuk patriotisme sejati. Ia mungkin tak memanggul senjata, tapi ia berperang melawan ketidakpedulian. Ia mungkin tak berdiri di depan istana, tapi suaranya menggema hingga akar-akar desa dan pelosok hutan. Ia adalah patriot hijau—pahlawan yang tidak menuntut gelar, tapi meninggalkan jejak perubahan.

Saya meyakini bahwa sosok seperti Brian adalah cermin bagi generasi muda. Cermin yang jernih, yang memantulkan bahwa keberanian tak selalu tentang keras kepala, tapi tentang kelembutan hati yang terus bertahan untuk hal yang diyakini benar. Bahwa menjadi muda bukan hanya tentang mengejar mimpi pribadi, tetapi juga menjaga mimpi bumi agar tak pudar dalam kabut krisis iklim dan kerusakan ekologis.

Filsuf Prancis, Pierre Teilhard de Chardin, pernah menulis bahwa kita bukan makhluk bumi yang mengalami pengalaman spiritual, melainkan makhluk spiritual yang mengalami pengalaman bumi. Dan Brian, dalam sikap dan tindakannya, menjelma sebagai jembatan antara langit dan tanah. Ia menjadikan spiritualitasnya sebagai laku nyata: mencintai tanah, merawat air, menyapa angin, dan menghidupi api semangat yang tak padam.

Saya berharap semakin banyak pemuda yang meneladani semangat Brian. Karena bumi ini tidak hanya butuh ilmuwan dan aktivis, tetapi juga butuh keberanian dari setiap anak muda untuk mengambil bagian. Kita mungkin tak bisa menjadi Brian, tapi kita bisa menjadi cahaya kecil yang ikut menyinari jalan perjuangan.

Terima kasih kepada seluruh penyelenggara dan komunitas Penulis Indonesia yang telah membuka ruang ini, memperkenalkan kami pada kisah pemuda luar biasa ini. Terima kasih, Brian, atas ketulusanmu. Engkau bukan hanya menyelamatkan lingkungan—engkau menyelamatkan harapan kami pada generasi ini.

Kini, saya melangkah dengan kesadaran baru. Bahwa menjaga bumi bukan lagi sekadar slogan. Ia adalah jalan hidup. Dan saya, dari titik ini, ingin turut melangkah—meski pelan, asal pasti. Karena bumi ini terlalu indah untuk dibiarkan hancur, dan masa depan terlalu berharga untuk tidak diperjuangkan.

Leave a Comment