Merawat Bumi, Merawat Peradaban

Penulis :
Aprinalistria, S.Psi., S.Fil., M.Pd., CHRP
Kandidat Doktor Ilmu Pendidikan – Universitas Muhammadiyah Bogor Raya

Pada tanggal 17 Mei 2025, dalam rangkaian Short Course Certified of Environmental Management Leadership (C.EML) Batch #4 yang diadakan oleh Asosiasi Pusat Studi Kalimantan (APSK), saya berkesempatan menyimak kisah perjuangan lapangan Ibu Dr. Ir. Siti Maimunnah, S.Hut., M.P., IPU, ASEAN Eng. Beliau adalah sosok perempuan tangguh di balik berbagai inisiatif konservasi hutan dan lahan gambut Indonesia, sekaligus aktivis lingkungan yang membumikan nilai-nilai keberlanjutan melalui kolaborasi lintas sektor dan nilai spiritualitas.

Menjawab Tantangan: Konservasi dalam Ketegangan Sosial-Budaya

Tidak semua jalan mulus. Ketika mendekati komunitas tertentu yang berlatar agama non-Muslim, istilah “konservasi” justru menjadi pemicu penolakan. Tetapi, alih-alih mundur, Ibu Maimunnah membalikkan pendekatan. Ia mengganti narasi, bukan misinya. Dengan mengamati kebutuhan lokal, beliau menemukan solusi cerdas: pemanfaatan getah damar dari pohon meranti yang hanya diambil saat rontok, tanpa melukai pohonnya. Solusi ini tidak hanya melestarikan hutan, tetapi juga menciptakan ekonomi alternatif yang adil dan berkelanjutan.

Beliau bahkan berperan sebagai tengkulak damar untuk masyarakat—sebuah contoh nyata transformasi sosial melalui empati dan keteladanan.

Hutan sebagai Manifestasi Rahmat: Islam dan Ekologi Spiritual

Menariknya, konservasi yang dijalankan tidak lepas dari nilai-nilai Islam. Di Universitas Michigan, beliau diminta menandatangani pernyataan bahwa “Islam adalah rahmatan lil alamin dalam membangun hutan.” Pernyataan ini seolah mewakili semangat Ibu Maimunnah bahwa ajaran Islam mendorong perdamaian dengan alam, bukan eksploitasi. Ini menunjukkan bahwa ekologi spiritual adalah jembatan yang kuat untuk gerakan lingkungan lintas budaya.

Dari Bawah ke Atas: Suara Masyarakat sebagai Fondasi Kebijakan

Salah satu kekuatan besar beliau adalah kemampuan menyuarakan aspirasi masyarakat akar rumput ke meja kebijakan. Saat kebakaran besar melanda Kalimantan Tengah tahun 2015, masyarakat dan pemerintah bertanya-tanya mengapa hutan yang dikelola oleh beliau tidak ikut terbakar. Jawabannya sederhana tapi revolusioner: masyarakat dilibatkan sebagai penjaga, bukan dituding sebagai perusak.

Kuncinya adalah pendidikan dan pengakuan akan nilai ekonomi dari menjaga hutan—yang disebut beliau sebagai livelyhood approach. Ketika masyarakat sadar bahwa mereka bisa makan dari hutan tanpa harus merusaknya, maka mereka akan menjadi pelindung terkuat hutan itu sendiri.

Teknologi, Kearifan, dan Semangat Tak Kenal Lelah

Ibu Maimunnah tidak hanya mengandalkan pendekatan sosial. Inovasi teknologi juga menjadi bagian dari restorasi lahan gambut. Melalui metode aerial seeding, benih ditabur dari helikopter ke lahan gambut yang tak bisa diinjak. Bahkan, benih dirakit dalam bentuk bom benih yang akan meledak ringan dan menyebar secara alami. Teknik ini tidak hanya cerdas, tetapi juga adaptif terhadap kondisi ekologis ekstrem.

Namun, teknologi tidak akan bermakna tanpa kegigihan. “Saya menikmati segala kesusahan di lapangan,” ucap beliau. Sebuah pengakuan tulus dari seseorang yang menjadikan tantangan sebagai bentuk syukur dan medan amal.

Integrasi Lintas Sektor: Dari Sawit, Tambang hingga USAID

Pendampingan masyarakat tidak berhenti pada ekosistem alam, tetapi merambah ke sektor industri. Dalam kerja sama dengan perusahaan tambang, beliau memastikan adanya area bernilai konservasi tinggi (HCVF) yang dilindungi. Ia menjadi penghubung antara pemerintah, swasta, dan masyarakat, agar keberlanjutan bukan sekadar jargon, tetapi praktik nyata.

Dalam konteks keterlanjuran sawit, masyarakat yang sudah terlanjur menanam sawit tidak dimarahi, melainkan diedukasi untuk merestorasi dengan menanam tanaman lokal seperti nangka. Pendekatan non-konfrontatif ini berhasil mengubah pola pikir: dari eksploitasi menjadi konservasi yang produktif.

Pendidikan Karbon dan Pelatihan Hidroponik: Masyarakat sebagai Ilmuwan Lokal

Melalui kerja sama dengan USAID, masyarakat diajarkan menghitung potensi karbon di wilayah hutan yang mereka kelola. Hasilnya mengejutkan: dari 2 miliar ton potensi karbon, masyarakat hanya menghitung 500 juta. Edukasi ini membuktikan bahwa jika diberi ilmu, masyarakat bisa menjadi ilmuwan lokal yang cakap dan mandiri dalam pengelolaan sumber daya.

Tak hanya itu, pelatihan hidroponik juga dilakukan sebagai alternatif penghidupan yang berkelanjutan—membuka peluang ekonomi baru sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap lahan yang rawan rusak.

Dedikasi yang Tulus: Ilmu, Pengabdian, dan Pahala

“Apakah ada uangnya?” tanya banyak orang. “Tidak ada,” jawab beliau jujur. Tapi justru di situlah letak keberkahan. Dengan melakukan pendampingan masyarakat, beliau tidak hanya mendapat data otentik untuk jurnal ilmiah dan pengabdian masyarakat, tetapi juga kebahagiaan spiritual yang tak tergantikan.

Bagi beliau, penghargaan seperti Kalpataru bukanlah tujuan, melainkan efek samping dari niat tulus. Semua jerih payah di lapangan akan menjadi cerita indah pada waktunya. Sebab, dalam keyakinannya, rezeki bukan sekadar uang—tetapi keberkahan hidup dan manfaat yang ditinggalkan.

Penutup: Mengubah Mindset, Menguatkan Akar

Refleksi dari Ibu Dr. Ir. Siti Maimunnah memberi pelajaran penting: bahwa keberhasilan konservasi bukan hanya soal teknologi atau pendanaan, tetapi kemauan untuk mendengarkan, mendidik, dan memuliakan masyarakat. Bahwa hutan bukan hanya kumpulan pohon, melainkan ruang kehidupan yang menghidupi.

Semakin banyak yang kita lakukan dari hati, semakin besar pula manfaat yang kembali kepada kita. Maka mari kita jaga bumi, karena seperti beliau katakan, “umur bumi bergantung pada apa yang dilakukan manusia.”

Leave a Comment