Penulis :
Aprinalistria, S.Psi, S. Fil, M. Pd, CHRP
(Kandidat Doktor Ilmu Pendidikan)
Universitas Muhammadiyah Bogor Raya
Dalam momen istimewa ini, saya merasa bangga dapat berbagi pengalaman serta pandangan mengenai upaya pelestarian alam, khususnya dalam konteks menjaga keberlanjutan lingkungan hidup kita. Melalui kegiatan Shortcourse Certified of Environmental Management Leadership (C.EML) Batch 4 yang mengangkat tema “Peran Konservator Alam untuk Masa Depan yang Berkelanjutan”, yang diselenggarakan pada Sabtu, 10 Mei 2025, saya ingin menekankan betapa pentingnya kontribusi kita sebagai penjaga alam dalam menghadapi tantangan serius yang mengancam planet ini.
Salah satu sosok yang memberikan banyak inspirasi dalam bidang konservasi lingkungan adalah Brian Martin, seorang pejuang lingkungan yang telah mendedikasikan dirinya melalui Yayasan Ulin.
Brian Martin, melalui Yayasan Ulin, dikenal mengkritisi bagaimana sains dan teknologi sering kali dimanfaatkan bukan demi kepentingan masyarakat luas, melainkan demi kepentingan industri atau kekuasaan. Ia menyuarakan pentingnya “sains partisipatif”, di mana masyarakat memiliki suara dalam menentukan bagaimana pengetahuan dan teknologi digunakan.
Dari perspektif Brian Martin, fenomena seperti porang bisa dianalisis sebagai berikut:
- Modal industri mengubah persepsi: Sesuatu yang sebelumnya dianggap tak berguna atau bahkan berbahaya bisa jadi “bernilai” jika ada kepentingan industri.
- Siapa yang mendapat manfaat? Apakah petani lokal mendapat keuntungan maksimal dari porang, ataukah justru korporasi besar yang menguasai teknologi dan pasarnya?
- Peran pengetahuan lokal vs pengetahuan ilmiah: Petani lokal sudah lama mengenal porang, tapi baru dianggap “bernilai” setelah masuk ke radar industri dan akademisi.
Refleksi Kritis
Brian Martin akan mendorong kita untuk berpikir:
- Apakah industrialisasi porang benar-benar memberdayakan masyarakat lokal?
- Siapa yang menentukan nilai suatu tanaman—masyarakat, pasar, atau ilmuwan?
- Bagaimana kita bisa memastikan bahwa sains dan industri tidak merampas, melainkan memberdayakan masyarakat akar rumput?
Pemanfaatan Modal Industri: Studi Kasus Porang dan Pendekatan Yayasan Ulin oleh Brian Martin
Porang, tanaman umbi yang dulunya dianggap tidak berguna bahkan beracun, kini berhasil dikembangkan menjadi komoditas industri yang bernilai tinggi. Perubahan ini terjadi berkat pendekatan yang tepat dalam memanfaatkan potensi lokal menjadi produk ekspor dan bahan baku industri pangan serta kosmetik. Menurut Brian Martin dari Yayasan Ulin, potensi industri seperti ini muncul dari pemahaman mendalam terhadap kearifan lokal dan proses ilmiah yang bisa mengubah persepsi masyarakat terhadap sumber daya alam.
Contoh porang menunjukkan bahwa sesuatu yang dianggap tak berguna dapat menjadi aset ekonomi, selama ada upaya pemberdayaan, riset, dan akses pasar. Yayasan Ulin mendukung transformasi seperti ini sebagai bagian dari strategi pembangunan ekonomi hijau berbasis komunitas.
Bisnis Berkelanjutan dan Diversifikasi Kredit Ekologis
Dalam konteks bisnis berkelanjutan, pemanfaatan jasa lingkungan menjadi strategi utama. Jasa-jasa ini mencakup wisata alam, pemanfaatan air dan energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, panas bumi, serta pengelolaan karbon. Salah satu contohnya adalah kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL), di mana misalnya jika ada kegiatan penanaman kembali di lahan seluas 10 hektare, maka bisa dilakukan offset dengan menanam di lahan lain sebagai bentuk kompensasi ekologis.
Menurut Brian Martin dari Yayasan Ulin, pendekatan seperti ini mendukung konsep diversifikasi ekonomi berbasis ekosistem. Melalui skema seperti carbon credit dan jasa lingkungan lainnya, komunitas lokal dapat memperoleh manfaat ekonomi sekaligus menjaga fungsi ekologis wilayah mereka.
Respon Budaya terhadap Ekosistem: Studi Kasus Papua dan Flores
Budaya Indonesia memiliki keterkaitan erat dengan alam sekitarnya. Di Papua, burung cenderawasih bukan hanya fauna endemik yang indah, tetapi juga memiliki peran penting dalam upacara adat dan simbol kehormatan. Aturan adat mengatur siapa yang boleh menggunakan bulu burung tersebut, mencerminkan upaya konservasi berbasis budaya.
Sementara itu di Flores, gading gajah menjadi simbol penting dalam prosesi lamaran. Meskipun tidak ada populasi gajah di wilayah tersebut, masyarakat tetap mempertahankan tradisi dengan mendatangkan gading dari pedagang India sejak masa lalu. Ini menunjukkan bahwa budaya bisa beradaptasi dan membentuk jaringan perdagangan lintas budaya untuk memenuhi nilai simbolik. Fenomena ini membuka peluang untuk mengembangkan inovasi budaya yang berkelanjutan. Misalnya, pembuatan replika gading secara etis atau produksi hiasan kepala adat dari bahan sintetis bisa menjaga nilai budaya tanpa merusak alam. Budaya dapat menjadi media konservasi, sekaligus basis ekonomi kreatif yang ramah lingkungan.
Jasa Lingkungan
Konsep bisnis berkelanjutan yang memanfaatkan jasa lingkungan seperti wisata alam, energi terbarukan (air, matahari, angin, panas bumi), dan diversity credit (kredit keanekaragaman hayati) adalah bentuk ekonomi baru yang muncul dari nilai ekologis suatu wilayah. Salah satu contohnya adalah program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL), di mana penanaman kembali pohon di satu lokasi dapat dikompensasikan dengan menanam di lokasi lain (misalnya: menebang 10 hektar, mengganti dengan tanam 10 hektar di tempat lain). Dari perspektif Brian Martin dan pendekatan kritis Yayasan Ulin, ini dapat dianalisis lebih dalam:
- Komodifikasi Alam
Menurut Brian Martin, ketika alam diberi nilai ekonomi—misalnya hutan dihargai karena menyerap karbon, atau air sungai dianggap “layak jual”—maka alam tidak lagi dilihat sebagai warisan bersama, melainkan sebagai aset yang bisa diperdagangkan. Misalnya:
Kredit karbon: Perusahaan besar tetap mencemari, lalu menebus dosa lingkungan dengan membeli kredit dari proyek RHL. Diversity credit: Mengganti keanekaragaman hayati yang rusak di satu tempat dengan ‘melestarikan’ di tempat lain—padahal tiap ekosistem unik.
- Ilusi Penggantian (offset)
Contoh: “Menebang 10 hektar, menanam 10 hektar di tempat lain.” Ini seolah setara, tapi bagi aktivis lingkungan: Pohon tua 100 tahun tidak sama nilainya dengan pohon baru umur 1 tahun. Ekosistem rusak tidak bisa sepenuhnya diganti hanya dengan kuantitas pohon baru.
- Ketimpangan Kuasa
Sering kali bisnis berkelanjutan dijalankan oleh korporasi atau lembaga besar dengan modal besar, bukan oleh komunitas lokal. Brian Martin menyoroti bahwa: Masyarakat adat atau lokal kadang justru disingkirkan demi proyek “hijau”. Ada “greenwashing”—proyek berlabel hijau tapi sebenarnya menguntungkan elite.
Apa yang Diusulkan dari Perspektif Yayasan Ulin?
Yayasan Ulin, dengan semangat sains partisipatif dan keadilan ekologis, akan mendorong:
- Partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan dan pengambilan keputusan proyek RHL, wisata alam, atau energi terbarukan.
- Pengakuan terhadap pengetahuan lokal—tidak hanya sains barat modern yang dijadikan patokan.
- Evaluasi kritis terhadap sistem offset—apakah benar menggantikan kerusakan atau hanya mempermanis kerugian lingkungan?
- Model bisnis kooperatif atau komunitas yang membagi hasil secara adil dan berkelanjutan.
Daftar Satwa Dilindungi di Indonesia: Konteks Konservasi dan Hukum
Indonesia memiliki daftar resmi spesies tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri LHK Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018. Beberapa contoh satwa yang termasuk dalam daftar tersebut meliputi:
- Mamalia: Orangutan (Pongo spp.), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus).
- Burung: Cenderawasih (Paradisaea spp.), Elang Jawa (Nisaetus bartelsi), Jalak Bali (Leucopsar rothschildi).
- Reptil: Komodo (Varanus komodoensis), Penyu Hijau (Chelonia mydas).
- Amfibi: Beberapa spesies katak endemik Indonesia.
- Ikan dan Biota Laut: Coelacanth (Latimeria menadoensis), Kuda Laut (Hippocampus spp.).
Kriteria perlindungan meliputi populasi yang terancam punah, endemisme, serta nilai ekologis dan budaya. Pelanggaran terhadap perlindungan ini dikenai sanksi pidana maksimal 5 tahun penjara dan denda hingga Rp100 juta. Masyarakat, terutama yang hidup berdampingan dengan alam, perlu diedukasi mengenai pentingnya konservasi ini, baik melalui kurikulum, pelatihan, maupun regulasi berbasis komunitas.
Terima kasih kepada Asosiasi Pusat Studi Kalimantan (APSK) yang telah mengadakan acara ini dan kepada semua peserta yang telah hadir. Mari bersama-sama kita terus menjaga alam untuk masa depan yang berkelanjutan. Terutama kepada Brian Martin yang telah menginspirasi banyak pihak untuk berperan aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan. Semoga acara ini dapat menambah wawasan dan mendorong lebih banyak orang untuk ikut serta dalam gerakan konservasi demi masa depan yang berkelanjutan.